Saat Aku Menjadikan Pelayananku Sebagai Pelarian

Oleh Peregrinus Roland, Cilacap

Masa-masa kuliah adalah masa yang berharga sekaligus menyenangkan. Aku tahu kuliah itu hanya berlangsung sekitar delapan semester saja, jadi aku pun bertekad untuk menjadikan masa-masa kuliahku berkesan.
Di semester kedua, aku bergabung dengan pelayanan persekutuan doa di kampusku. Awalnya aku hanya datang sebagai simpatisan saja, tanpa ada niatan untuk terlibat menjadi pengurus. Tapi, karena aku selalu datang di tiap minggunya, tim pengurus menawarkanku untuk bergabung dengan tim pelayanan mereka. Aku tertarik dengan tawaran ini, dan singkat cerita setelah aku melewati seleksi wawancara, aku diterima sebagai tim pengurus inti.
Sejak saat itu, di samping kuliah, kegiatanku jadi bertambah banyak. Aku mengikuti persekutuan doa, komsel, fellowship, retret, dan seminar kerohanian yang wajib diikuti oleh tim pengurus. Kadang, aku juga diminta untuk melayani di persekutuan doa lain. Meskipun sibuk, tapi segudang aktivitas ini membuatku nyaman. Ada banyak teman-teman baru yang kudapat di persekutuan ini, dan kupikir tema-tema yang dibahas tiap minggunya pun menarik dan sangat cocok dengan kehidupanku sebagai mahasiswa.
Tapi, tanpa kusadari, pelayanan yang kulakukan ini membuatku abai dari apa yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab utamaku di kampus, yaitu menyelesaikan kuliah. Selama aku melayani sebagai tim pengurus, aku lebih mementingkan persekutuan dan kegiatan yang kelihatannya rohani dibandingkan dengan tugas-tugas kuliahku.
Acara persekutuan berlangsung sampai malam. Tak jarang saat pulang ke kos tubuhku sudah capek dan aku langsung tertidur tanpa menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Alhasil, nilai-nilai kuliahku banyak yang jelek. Saat teman-temanku menikmati liburan semesteran, aku malah harus kembali ke kampus untuk remedial atau bahkan mengulang mata kuliah yang gagal itu di semester depan.
Saat kuliahku tiba di semester tujuh, aku sempat merasa putus asa. Teman-temanku sudah menyelesaikan laporan akhir kuliah kerja lapangan mereka, aku malah seperti jalan di tempat. Aku butuh waktu sembilan bulan untuk menyelesaikannya, padahal temanku banyak yang sanggup menuntaskan laporan itu hanya dalam waktu satu atau dua bulan saja.
Sampai di titik ini, aku mulai berpikir sepertinya ada yang salah dengan diriku. Namun, aku belum tahu apa dan tidak berusaha mencari tahu lebih lanjut. Bukannya segera menyelesaikan kuliahku yang tertinggal dan belajar membagi waktu dengan bijak, aku malah meninggalkan kuliahku dan meluangkan sebagian besar waktuku untuk mengurusi persekutuan doa. Dalam pikiranku, lebih baik aku melayani Tuhan saja daripada aku stres karena kuliahku yang sulit.

Teguran yang mengubahkanku

Hingga suatu ketika, ada seorang pembicara berkhotbah di persekutuan doaku. Beliau mengatakan bahwa ada empat tingkatan prioritas dalam hidup mahasiswa yang sedang merantau untuk kuliah atas biaya orangtua. Prioritas pertama adalah Tuhan, yang kedua adalah keluarga, yang ketiga adalah kuliah, dan yang keempat adalah pelayanan kampus/ministry.
Aku tertegun mendengar khotbah ini. Aku mulai sadar di mana letak kesalahanku selama ini. Aku menempatkan pelayanan di posisi pertama seolah-olah inilah aktivitas yang membuat Tuhan berkenan padaku. Padahal, melayani Tuhan adalah aktivitas yang tidak terbatas pada lingkup organisasi saja. Aku bisa melayani dan memuliakan Tuhan di manapun, dan melalui berbagai cara. Bahkan, jika aku menekuni kuliahku dengan bertanggung jawab pun sebenarnya itu sudah merupakan sebuah pelayanan juga wujud komitmenku kepada Tuhan dan orangtuaku.
Kolose 3:23 mengatakan, “Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”Ayat ini menamparku. “Kuliah adalah salah satu bentuk pelayanan kita kepada orangtua kita yang telah membiayai kita, dan itu juga dapat menyenangkan hati Tuhan. Maka tidak ada alasan untuk kita meninggalkan tugas dan tanggung jawab kita hanya karena alasan pelayanan,” tambah pembicara itu.
Dengan malu aku harus mengakui bahwa selama ini aku telah salah dalam memaknai pelayanan. Alih-alih menjadikan pelayananku di dalam tim pengurus sebagai ekspresi kasihku kepada Tuhan, aku malah menjadikan aktivitas ini sebagai pelarian dari kemalasanku mengikuti kuliah. Pelayananku bukanlah benar-benar ditujukan untuk melayani Tuhan, melainkan hanya melayani egoku saja. Aku seorang yang malas, dan aku menjadikan pelayanan sebagai tameng untuk menutupi kemalasanku.
Kesalahan pemahamanku terhadap pelayanan inilah yang membuatku mengkotak-kotakkan mana yang merupakan aktivitas rohani dan mana yang tidak. Aku menganggap kalau banyak beraktivitas di persekutuan adalah sesuatu yang rohani, sedangkan kuliah itu tidak. Padahal, Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31 dengan jelas mengatakan:
“Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
Paulus tidak mengatakan bahwa untuk memuliakan Tuhan kita perlu melakukan aktivitas yang spektakuler. Tuhan bisa dimuliakan lewat banyak hal, bahkan lewat aktivitas terkecil yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita.
Hari itu, aku berdoa memohon ampun kepada Tuhan. Aku menyesali motivasiku yang salah dalam melayani. Aku pun belajar untuk mengatur waktuku dengan bijak. Setiap hari aku selalu meluangkan waktuku selama tiga jam untuk membaca buku dan mengerjakan skripsi, dan tak lupa aku juga selalu berdoa sebelum memulai aktivitasku.
Puji Tuhan, Dia memberkatiku dan pada bulan November lalu aku lulus dan diwisuda sebagai sarjana.
Lewat peristiwa ini, aku sadar bahwa pelayanan seharusnya bukanlah sebuah pelarian dari tanggung jawab utamaku. Kristus dimuliakan ketika aku mengerjakan tanggung jawab yang sudah Dia berikan padaku dengan hati yang bersungguh-sungguh.

sumber : warungsatekamu.org

No comments

berikan komentar anda, mari bersama jadi nitizen yang positif.

Powered by Blogger.